Rasa
Yang Belum Tersampaikan
Cerpen By Qanitha Saffa Juliebe Soebroto
“Raniaa! Rania
ayo bangun nak!” terdengar suara Mama yang sedang membangunkanku. “Rania ayo
bangun nak solat subuh dulu!” Saat itu jam masih menunjukkan jam 05.00 pagi.
Lalu aku pun bangun dan solat subuh terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas
lainnya. Saat ini aku sedang menjalani liburan semester. Seperti biasa saat
liburan, aku membantu Mama dan Papaku di kafe. Kami memiliki kafe kecil-kecilan
di sudut jalan. Sebenarnya pada awalnya kafe ini dibangun hanya untuk mengisi
waktu luang Mama. Tapi alhamdulillah, sekarang sudah berkembang menjadi kafe
yang lumayan besar dan sering dikunjungi pembeli.
“Kak, nanti sebelum berangkat ke kafe tolong adek-adeknya diurusin dulu ya.” Kata Mama.
“Hmmm.” Jawabku dengan tidak
bersemangat. Setelah kedua adikku bangun aku pun memandikan dan
menyiap-nyiapkan mereka. Lalu kami pun pergi ke kafe dengan menggunakan mobil.
Sesampainya
di kafe, kami pun langsung menyiapkan semuanya. Mulai dari menyapu dan mengepel
lantainya, membersihkan mejanya, dan lain-lain. Waktu sudah menunjukkan jam
10.00 pagi, saatnya kafe dibuka! Aroma kopi sudah mulai tercium. Aku sangat
menyukai kopi dan aromanya. Aku tidak akan pernah bosan mencium bau kopi ini,
hehe. Pengunjung sudah mulai berdatangan, Kami pun mulai sibuk melayani
pengunjung. Jam makan siang telah usai. Seperti biasa, setelah jam makan siang
usai, pengunjung yang datang mulai sepi. Sekarang hanya tersisa beberapa orang
yang sedang mengopi dan mengobrol disitu. “Sekarang waktunya ku mengerjakan
tugas!” kataku dengan bersemangat. Aku pun membuat sendiri es kopi susu untuk
menemaniku mengerjakan tugas. Aku pun memilih tempat yang sangat kusukai di
kafe itu, yaitu di dekat jendela! Di jendela itu langsung terlihat kendaraan
yang sedang berlalu lalang.
Setelah hampir setengah jam aku duduk disitu, datanglah seorang pria yang sepertinya usianya tak terpaut jauh dariku. Ia duduk benar-benar di hadapanku. Aku benar-benar kaget saat pria itu duduk. Karena biasanya orang-orang tidak suka duduk di situ karena tempatnya terlalu terang, terpampang sinar matahari. Dia membawa es kopi susu di tangan kanannya dan handphone di tangan kirinya.
Aku meliriknya dan Ia berkata “Hai!” Aku
bingung kepada siapa Ia berbicara.
Lalu aku bertanya “ Maaf kau berbicara
dengan siapa? Saya?”
“Iya, Kamu” jawabnya.
“Maaf Saya tidak tahu, saya kira Kamu
berbicara dengan orang lain.” Kataku yang malu karena tidak menjawab sapaannya.
“Iya, ngga apa-apa kok. Oiya, apa Kamu
baru pertama kalinya kesini? Soalnya Aku ngga pernah melihatmu di sini.”
“Aku? Aku ini adalah anak pemilik kafe
ini. Itu Mama dan Papaku.” Jawabku.
“Oh iya? Maafkan Aku, kukira kamu adalah
pelanggan di sini sama seperti ku.”
“Perkenalkan nama ku Rania, Rania
Syabira.” kataku sambil mengajukan tangan untuk berjabatan tangan.
“Namaku Dika, Mahardika Putra.” katanya
sambil berjabatan tangan denganku.
“Apa kau sering berkunjung kesini?”
tanyaku.
“Dulu aku hampir setiap hari kesini,
tetapi sekarang sudah jarang. Mungkin dua minggu sekali Aku kesini. Tugas
sekolah sangatlah menumpuk sebelum liburan ini.”
“Oo begitu. Ngomong-ngomong memangnya Kamu kelas berapa sekarang? Sekolah di mana?” Aku bertanya karena penasaran.
“Aku sekolah di SMA Tunas Bangsa. Tahun
ini adalah tahun ketiga ku. Saat ini ku sedang sibuk menyiapkan diri untuk
masuk ke perguruan tinggi.” Jawabnya.
“Oh iya? Aku juga bersekolah di situ!
Saat ini aku duduk di bangku kelas dua SMA. Tetapi Aku tidak pernah melihat
Kakak di sekolah. Hmm mungkin karena Aku jarang keluar kelas kali ya, hahaha.”
Ia hanya tersenyum mendengar perkataanku.
Kami pun mengobrol sampai sore. Kami
membicarakan semua hal yang kami lihat, tidak peting sebenarnya, tapi entah
kenapa saat membicarakan hal-hal seperti itu dengannya, terasa sangat
menyenangkan.
Sekarang sudah
jam 10.00 malam, saatnya kafe tutup, Kami pun pulang kerumah untuk
beristirahat. Sesampainya di rumah, adikku tersandung lalu terjatuh, Ia pun
menangis.
“Kok bisa sih kak? Kamu ini gimana sih?”
kata Mama yang marah kepadaku.
Aku benar-benar tidak mengerti. Ia
terjatuh tidak ada hubungannya sama sekali denganku, tetapi kenapa Aku yang
dimarahi? Ini bukan kali pertama hal ini terjadi, sudah berkali-kali baik Mama
maupun Papa. Aku pun langsung masuk ke kamar tanpa menjawab pertanyaan mama.
Jika aku menjawab, yang ada hanya aku berdosa karena membantah mama, lalu
menangis. Lebih baik Aku diam, dan masuk ke kamar.
Aku masih belum
bisa tidur karena hal yang barusan terjadi. Aku memikirkan posisiku di keluarga
ini. Anak tertua yang selalu di salahkan apabila adik-adiknya terluka.
Benar-benar melelahkan dan menyakitkan. Mungkin memang benar kata Nenek, Mama
tidak mengerti bagaimana rasaku sekarang karena Ia adalah anak bungsu. Ia tidak
pernah merasakan bagaimana menjadi seorang kakak yang selalu mengurusi
adik-adiknya. Tak terasa pipiku sudah
basah karena air mataku yang terus-menerus jl Ki ikuti ibu mengalir. Lalu tiba-tiba ku memikirkan kejadian saat
bertemu dengan Kak Dika tadi. Seketika suasana hati ini pun berubah, menjadi
lebih ceria. Air mata ku pun tiba-tiba berhenti. Aneh, bagamana pertemuan
pertama bisa semenyenangkan ini?
Keesokan harinya
kami pun berangkat lagi ke kafe, kegiatannya pun sama seperti sebelumnya. Yang
berbeda mungkin hanya pengunjung dan apa yang mereka pesan. Tetapi ada satu
pengunjung yang sama seperti kemarin, “Kak Dika!” Aku memanggilnya. Ia pun memesan
minuman dan makanannya lalu duduk di tempat kemarin.
“Kakak kesini lagi ternyata.”.
“Kan sudah kubilang kalau liburan begini
ku pasti datang setiap hari.” Jawabnya.
“Ah iyaaa, lupa. Oh iya, kenapa kakak
sering datang kesini? Padahal banyak kafe-kafe lain kan.” Tanyaku penasaran.
“Hmm kenapa ya? Menurutmu kenapa ku
sering datang kesini?”
“Mungkin karena dekat dari rumahmu?”
“Salah!”
“Lalu apa yang benar?” tanyaku.
“Karena ku ingin bertemu dengamu.”
Suasana hening, entah kenapa jantungku berdegup kencang.
“Mmmana mungkin itu alasannya, kita kan
baru bertemu sekali kemarin.” Bantahku sambil terbata-bata karena salting.
“Ahahah iya deh kujawab yang bener.
Sebenarnya ku sering kesini karena kopi buatan sini mengingatkanku pada
Nenekku. Rasanya mirip dengan kopi buatan Nenekku.” Jelasnya padaku. “Oh
begitu..” Ia lalu meminum kopinya dan berkata bahwa Ia harus pulang lebih cepat
hari ini, karena Ia memiliki janji dengan orang lain untuk bertemu hari ini.
“Kakak besok akan datang lagi, kan?” tanyaku berharap Ia akan datang lagi
besok. “Aku tidak janji, tetapi akan ku usahakan datang.”
Pengunjung hari
ini lumayan ramai. Aku mulai kelelahan dan beristirahat sebentar saat pengunjung
mulai sepi.
“Kak, tolong belikan susu di minimarket seberang. Persediaan susu mulai
sedikit!” teriak Mama. “Ya Maa.” Jawabku. Aku sebenarnya masih sedikit kesal
dengan apa yang terjadi semalam. Tapi ya sudahlah apa boleh buat, Aku pun
menuruti perintah Mama dan pergi ke minimarket untuk membeli susu. Sepulang
dari minimarket, ku melihat ada Nenek-Nenek yang ingin menyeberang jalan. Tapi
sepertinya Nenek itu bingung dan takut untuk menyeberang.
“Nek!” panggilku “Nenek mau menyeberang
kan? Sini nek bareng saya saja. Saya juga mau menyeberang kok.”
Nenek itu pun tersenyum dan berkata
“Terimakasih nak! Semoga Tuhan membalas kebaikanmu dan selalu melindungimu
nak.”
“Aamin, sama-sama nek.”.
Dihari ketiga,
tetaplah sama seperti hari-hari sebelumnya. Membersihkan kafe, melayani
pelanggan, dan juga Kak Dika! Ia tetap sama, selalu datang ke tempat dan di
waktu yang sama.
“Es kopi susu satu dan bolu lapis keju
satu ya.” Kataku meledek Kak Dika.
“Loh kok tau sih, ahahah. Tolong
antarkan ke tempat biasa ya!”
“Siap!” Aku pun menyiapkan pesanannya
dan mengantarnya di tempat biasa.
“Okey terimakasih.” Ia menjawab sambil sibuk
memainkan handphone nya.
“Kak, ku boleh cerita ga?”
“Cerita mah cerita aja. Emangnya mau
cerita apa?” jawab Kak Dika.
“Tentang keluarga.”
“Ooh tentang keluarga. Yaudah cerita
aja.” “Kakak punya saudara ga sih? Atau kakak anak tunggal?” tanyaku untuk
memulai topik.
“Ngga punya, aku anak tunggal. Kenapa
emangnya?”
“Aku ini anak pertama dari 3 bersaudara.
Benar-benar capek rasanya. Aku punya adek saat usiaku udah besar, itu ga
gampang.” Kak Dika memperhatikan ceritaku dengan sangat fokus. “Waktu Aku masih
jadi anak tunggal, semua benar-benar menyenangkan. Apa yang ku minta, mereka
akan berusaha mengasihnya kepadaku. Sekarang, apa-apa salahku. Aku harus lebih
mengurangi apa yang ku mau, karena Aku punya adik. Aku tidak tau apa alasan
Mama dan Papa mempunyai anak lagi saat anak pertamanya sudah hampir dewasa.
Benar-benar tidak adil. Mama tidak punya adik sehingga Ia tidak tahu bagaimana
rasanya.”
Sambil melihat jam tangan dimas berkata
“Ran, aku minta maaf, aku harus pergi sekarang. Aku ada janji bertemu denga
orang siang ini. Yang penting kau sudah bercerita kan? Aku akan memberikan
tanggapanku besok atau nanti ku telepon, ok?” Ia pun pergi dengan tergesa-gesa.
Sebenarnya ku
kesal. Bagaimana tidak, dari kemarin Ia selalu pulang lebih awal. Tetapi
mungkin memang janji dengan orang itu sangat penting. Setelah urusan kafe
selesai, Aku pun pulang. Setelah bersih-bersih, terdengar suara hp yang
berdering ada seseorang yang menelepon. Di handphone tertulis nama ‘Kak Dika’
Aku pun langsung mengangkatnya.
“Halo Rania!” kata kak Dika
“Halo kak.” Jawabku dengan nada datar
karena masih kesal dengannya.
“Aku mau meneruskan obrolan kita tadi,
lagi senggang ga nih?” tanya kak Dika
“Iya kak, lagi senggang kok.”
“Jadi gini Ran, aku mau nyampaikan
pendapatku aja soal tadi. Mungkin ada alasannya kok kenapa kamu punya adik di
usia yang sudah besar. Mungkin karena orang tuamu ingin ada yang menemani di
masa tuanya nanti. Kalau mereka hanya punya satu anak, siapa yang akan menjaga
mereka nanti, ya kan? Itu hanya kemungkinan loh yaa, hanya Allah dan orang
tuamu yang tahu jawabannya.” Kata kak Dimas. Ia pun melanjutkan “Kenapa ga kamu
ambil aja sisi positifnya? Dengan adanya adik-adikmu berarti Kamu tidak boleh
egois. Allah melarangmu egois, Kamu sudah menjadi kakak yang akan menjadi
panutan untuk adik-adiknya, ya kan?”
“Kak...” Kataku sambil sesenggukan
menahan nangis
“Loh ran? Kamu nangis ya? Ihh cengeng
juga kamu ya hahaha. Udah-udah jangan nangis, nanti cantiknya ilang loh, hihi.”
Untuk kesekian kalinya, Ia membuatku jantungku berdegup lebih kencang dari
biasanya.
“Enggak kok kak, udah ga nangis lagi
nih, hehe. Makasih ya kak buat pendapatnya tadi. Sekarang Aku jauh lebih tenang
dari sebelumnya.” Kataku dengan jantung yang masih berdegup kencang.
“Iya sama-sama, ran. Yaudh gih gausah
nangis lagi, tidur aja sana. Udah malem ini.”
“Iya kak udah engga kok. Besok kakak ke
kafe kan?” tanyaku berharap Ia tetap datang seperti har-hari sebelumnya.
“insyaallah. Yaudah ya semoga mimpi
indah, ran!”
Belum
sempat menjawab, teleponnya sudah dimatikan oleh kak Dika. Aku jauh lebih
tenang setelah mendengar perkataan kak Dika. Ada benarnya juga perkataan kak
Dika.
Di
hari keempat, aku menunggu Kak Dika di kafe. Sudah jam 1 lewat. Biasanya Ia
datang selalu jam 1 siang, kalaupun ngaret mungkin hanya 5-10 menit. Aku
memutuskan untuk menelponnya, tetapi tidak diangkat-angkat. Aku benar-benar
panik, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?
Beberapa
hari telah berlalu, Aku sudah menelponnya berulang-ulang kali tetap tidak
diangkat. Setelah mencoba beberapa kali lagi akhirnya teleponnya diangkat.
“Halo? Kak Dika? Kakak di mana kak? Kok
belum dateng?” Tanyaku dengan panik.
“Halo? Ada apa Rania? Ini mamanya Dika,
ada apa ya?” Terdengar suara mama kak Dika sesenggukan menahan tangis dari
telepon kak Dika.
“Halo tante, maaf tante apa ada Kak
Dika?” tanyaku kepada mamanya kak Dika.
“Bisakah kita bertemu sekarang Rania?
Kalau bisa bagaimana kita bertemu di taman kota sekarang?”
“Bisa tante, saya akan segera kesana.”
Akupun bergegas pergi ke taman kota. Sesampainya di sana, aku bingung, aku
tidak tahu yang mana mama nya kak Dika.
“Rania!” Terdengar suara perempuan yang
tak ku ketahui, Ia pun mendekat “Saya mama nya Dika.”
“Oh halo Tante, saya Rania. Tante, di
mana Kak Dika?”
“Mari kita duduk dulu.” Aku dan tante
mencari tempat duduk lalu melanjutkan obrolan kami saat sudah duduk.
“Tante, di mana kak Dika?” tanyaku
sekali lagi.
“Rania, Dika sekarang, sudah tidak
ada..” ugkap mama Kak Dika. Akupun terkejut. Entah apa yang ku rasakan,
semuanya bercampur aduk. Air mata sudah tak tertahankan lagi. Mengalir deras di
pipi.
“Innalillahiwainailaihirojiun...” kataku
sambil menangis.
“Ia memang memiliki jantung yang lemah
dari lahir. Dan Ia tahu itu. Sudah beberapa bulan ini Ia tidak masuk sekolah.
Hidupnya hanya di sekitar rumah dan rumah sakit. Dokter sudah pernah mengatakan
bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Saya sudah pasrah, saya menuruti segala
keinginannya selama ini, demi putra tunggal saya, Dika.” Jelas mama Kak Dika.
“Berarti selama ini dia berbohong,
pantas saja saya tidak pernah melihatnya di sekolah. Ia bilang ia sedang sibuk
mempersiapkan diri masuk ke univesitas, ternyata..” kataku sambil menahan
tangis.
“Dika banyak bercerita tentangmu.
Katanya Ia sangat menyayangimu, Ia meminta maaf tidak bisa menemanimu lagi di
kafe untuk waktu yang lama. Ia berharap semoga ada orang lain yang bisa
menemanimu di kafe setiap hari, seperti yang Ia lakukan. Tante minta tolong
maafkan segala kesalahan Dika, tolong maafkan baik yang di sengaja ataupun
tidak.”
Air
mata yang mengalir pun semakin deras setelah mendengar perkataan mama Kak Dika.
Ternyata firasatku benar, Ia mempunyai rasa yang sama.
Semua yang
terjadi cukup membuat trauma. Sekarang Aku jarang berkenalan dengan orang baru,
terutama laki-laki. Aku takut kejadian yang sama terulang kembali. Mungkin
benar kata Kak Dika, sekarang lebih baik belajar saja dulu yang benar. Setelah
kau dewasa, barulah temukan jati dirimu, dan juga cinta sejatimu.
Aku tak menyesal
pernah mengenalnya. Jika ada hal yang harus kusesali, itu adalah rasa yang
belum tersampaikan.
Written
by Qanitha shaffa Juliebe Subroto
Perum
GMP YUKUM JAYA 2020 ad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar