Label

Rabu, 09 Juni 2021

Rasa Yang Belum Tersampaikan

 

Rasa Yang Belum Tersampaikan

Cerpen By Qanitha Saffa Juliebe Soebroto

“Raniaa! Rania ayo bangun nak!” terdengar suara Mama yang sedang membangunkanku. “Rania ayo bangun nak solat subuh dulu!” Saat itu jam masih menunjukkan jam 05.00 pagi. Lalu aku pun bangun dan solat subuh terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas lainnya. Saat ini aku sedang menjalani liburan semester. Seperti biasa saat liburan, aku membantu Mama dan Papaku di kafe. Kami memiliki kafe kecil-kecilan di sudut jalan. Sebenarnya pada awalnya kafe ini dibangun hanya untuk mengisi waktu luang Mama. Tapi alhamdulillah, sekarang sudah berkembang menjadi kafe yang lumayan besar dan sering dikunjungi pembeli.

“Kak, nanti sebelum berangkat ke kafe tolong adek-adeknya diurusin dulu ya.” Kata Mama.

“Hmmm.” Jawabku dengan tidak bersemangat. Setelah kedua adikku bangun aku pun memandikan dan menyiap-nyiapkan mereka. Lalu kami pun pergi ke kafe dengan menggunakan mobil.

Sesampainya di kafe, kami pun langsung menyiapkan semuanya. Mulai dari menyapu dan mengepel lantainya, membersihkan mejanya, dan lain-lain. Waktu sudah menunjukkan jam 10.00 pagi, saatnya kafe dibuka! Aroma kopi sudah mulai tercium. Aku sangat menyukai kopi dan aromanya. Aku tidak akan pernah bosan mencium bau kopi ini, hehe. Pengunjung sudah mulai berdatangan, Kami pun mulai sibuk melayani pengunjung. Jam makan siang telah usai. Seperti biasa, setelah jam makan siang usai, pengunjung yang datang mulai sepi. Sekarang hanya tersisa beberapa orang yang sedang mengopi dan mengobrol disitu. “Sekarang waktunya ku mengerjakan tugas!” kataku dengan bersemangat. Aku pun membuat sendiri es kopi susu untuk menemaniku mengerjakan tugas. Aku pun memilih tempat yang sangat kusukai di kafe itu, yaitu di dekat jendela! Di jendela itu langsung terlihat kendaraan yang sedang berlalu lalang.

Setelah hampir setengah jam aku duduk disitu, datanglah seorang pria yang sepertinya usianya tak terpaut jauh dariku. Ia duduk benar-benar di hadapanku. Aku benar-benar kaget saat pria itu duduk. Karena biasanya orang-orang tidak suka duduk di situ karena tempatnya terlalu terang, terpampang sinar matahari. Dia membawa es kopi susu di tangan kanannya dan handphone di tangan kirinya.

Aku meliriknya dan Ia berkata “Hai!” Aku bingung kepada siapa Ia berbicara.

Lalu aku bertanya “ Maaf kau berbicara dengan siapa? Saya?”

“Iya, Kamu” jawabnya.

“Maaf Saya tidak tahu, saya kira Kamu berbicara dengan orang lain.” Kataku yang malu karena tidak menjawab sapaannya.

“Iya, ngga apa-apa kok. Oiya, apa Kamu baru pertama kalinya kesini? Soalnya Aku ngga pernah melihatmu di sini.”

“Aku? Aku ini adalah anak pemilik kafe ini. Itu Mama dan Papaku.” Jawabku.

“Oh iya? Maafkan Aku, kukira kamu adalah pelanggan di sini sama seperti ku.”

“Perkenalkan nama ku Rania, Rania Syabira.” kataku sambil mengajukan tangan untuk berjabatan tangan.

“Namaku Dika, Mahardika Putra.” katanya sambil berjabatan tangan denganku.

“Apa kau sering berkunjung kesini?” tanyaku.

“Dulu aku hampir setiap hari kesini, tetapi sekarang sudah jarang. Mungkin dua minggu sekali Aku kesini. Tugas sekolah sangatlah menumpuk sebelum liburan ini.”

“Oo begitu. Ngomong-ngomong memangnya Kamu kelas berapa sekarang? Sekolah di mana?” Aku bertanya karena penasaran.


“Aku sekolah di SMA Tunas Bangsa. Tahun ini adalah tahun ketiga ku. Saat ini ku sedang sibuk menyiapkan diri untuk masuk ke perguruan tinggi.” Jawabnya.

“Oh iya? Aku juga bersekolah di situ! Saat ini aku duduk di bangku kelas dua SMA. Tetapi Aku tidak pernah melihat Kakak di sekolah. Hmm mungkin karena Aku jarang keluar kelas kali ya, hahaha.” Ia hanya tersenyum mendengar perkataanku.

Kami pun mengobrol sampai sore. Kami membicarakan semua hal yang kami lihat, tidak peting sebenarnya, tapi entah kenapa saat membicarakan hal-hal seperti itu dengannya, terasa sangat menyenangkan.

Sekarang sudah jam 10.00 malam, saatnya kafe tutup, Kami pun pulang kerumah untuk beristirahat. Sesampainya di rumah, adikku tersandung lalu terjatuh, Ia pun menangis.

“Kok bisa sih kak? Kamu ini gimana sih?” kata Mama yang marah kepadaku.

Aku benar-benar tidak mengerti. Ia terjatuh tidak ada hubungannya sama sekali denganku, tetapi kenapa Aku yang dimarahi? Ini bukan kali pertama hal ini terjadi, sudah berkali-kali baik Mama maupun Papa. Aku pun langsung masuk ke kamar tanpa menjawab pertanyaan mama. Jika aku menjawab, yang ada hanya aku berdosa karena membantah mama, lalu menangis. Lebih baik Aku diam, dan masuk ke kamar.


Aku masih belum bisa tidur karena hal yang barusan terjadi. Aku memikirkan posisiku di keluarga ini. Anak tertua yang selalu di salahkan apabila adik-adiknya terluka. Benar-benar melelahkan dan menyakitkan. Mungkin memang benar kata Nenek, Mama tidak mengerti bagaimana rasaku sekarang karena Ia adalah anak bungsu. Ia tidak pernah merasakan bagaimana menjadi seorang kakak yang selalu mengurusi adik-adiknya.  Tak terasa pipiku sudah basah karena air mataku yang terus-menerus jl Ki ikuti ibu mengalir.  Lalu tiba-tiba ku memikirkan kejadian saat bertemu dengan Kak Dika tadi. Seketika suasana hati ini pun berubah, menjadi lebih ceria. Air mata ku pun tiba-tiba berhenti. Aneh, bagamana pertemuan pertama bisa semenyenangkan ini?


Keesokan harinya kami pun berangkat lagi ke kafe, kegiatannya pun sama seperti sebelumnya. Yang berbeda mungkin hanya pengunjung dan apa yang mereka pesan. Tetapi ada satu pengunjung yang sama seperti kemarin, “Kak Dika!” Aku memanggilnya. Ia pun memesan minuman dan makanannya lalu duduk di tempat kemarin.

“Kakak kesini lagi ternyata.”.

“Kan sudah kubilang kalau liburan begini ku pasti datang setiap hari.” Jawabnya.

“Ah iyaaa, lupa. Oh iya, kenapa kakak sering datang kesini? Padahal banyak kafe-kafe lain kan.” Tanyaku penasaran.

“Hmm kenapa ya? Menurutmu kenapa ku sering datang kesini?”

“Mungkin karena dekat dari rumahmu?”

“Salah!”

“Lalu apa yang benar?” tanyaku.

“Karena ku ingin bertemu dengamu.” Suasana hening, entah kenapa jantungku berdegup kencang.

“Mmmana mungkin itu alasannya, kita kan baru bertemu sekali kemarin.” Bantahku sambil terbata-bata karena salting.

“Ahahah iya deh kujawab yang bener. Sebenarnya ku sering kesini karena kopi buatan sini mengingatkanku pada Nenekku. Rasanya mirip dengan kopi buatan Nenekku.” Jelasnya padaku. “Oh begitu..” Ia lalu meminum kopinya dan berkata bahwa Ia harus pulang lebih cepat hari ini, karena Ia memiliki janji dengan orang lain untuk bertemu hari ini. “Kakak besok akan datang lagi, kan?” tanyaku berharap Ia akan datang lagi besok. “Aku tidak janji, tetapi akan ku usahakan datang.”

Pengunjung hari ini lumayan ramai. Aku mulai kelelahan dan beristirahat sebentar saat pengunjung mulai sepi.

“Kak, tolong belikan susu  di minimarket seberang. Persediaan susu mulai sedikit!” teriak Mama. “Ya Maa.” Jawabku. Aku sebenarnya masih sedikit kesal dengan apa yang terjadi semalam. Tapi ya sudahlah apa boleh buat, Aku pun menuruti perintah Mama dan pergi ke minimarket untuk membeli susu. Sepulang dari minimarket, ku melihat ada Nenek-Nenek yang ingin menyeberang jalan. Tapi sepertinya Nenek itu bingung dan takut untuk menyeberang.

“Nek!” panggilku “Nenek mau menyeberang kan? Sini nek bareng saya saja. Saya juga mau menyeberang kok.”

Nenek itu pun tersenyum dan berkata “Terimakasih nak! Semoga Tuhan membalas kebaikanmu dan selalu melindungimu nak.” 

“Aamin, sama-sama nek.”.

Dihari ketiga, tetaplah sama seperti hari-hari sebelumnya. Membersihkan kafe, melayani pelanggan, dan juga Kak Dika! Ia tetap sama, selalu datang ke tempat dan di waktu yang sama.

“Es kopi susu satu dan bolu lapis keju satu ya.” Kataku meledek Kak Dika.

“Loh kok tau sih, ahahah. Tolong antarkan ke tempat biasa ya!”

“Siap!” Aku pun menyiapkan pesanannya dan mengantarnya di tempat biasa.

 “Okey terimakasih.” Ia menjawab sambil sibuk memainkan handphone nya.

“Kak, ku boleh cerita ga?”

“Cerita mah cerita aja. Emangnya mau cerita apa?” jawab Kak Dika.

“Tentang keluarga.”

“Ooh tentang keluarga. Yaudah cerita aja.” “Kakak punya saudara ga sih? Atau kakak anak tunggal?” tanyaku untuk memulai topik.

“Ngga punya, aku anak tunggal. Kenapa emangnya?”

“Aku ini anak pertama dari 3 bersaudara. Benar-benar capek rasanya. Aku punya adek saat usiaku udah besar, itu ga gampang.” Kak Dika memperhatikan ceritaku dengan sangat fokus. “Waktu Aku masih jadi anak tunggal, semua benar-benar menyenangkan. Apa yang ku minta, mereka akan berusaha mengasihnya kepadaku. Sekarang, apa-apa salahku. Aku harus lebih mengurangi apa yang ku mau, karena Aku punya adik. Aku tidak tau apa alasan Mama dan Papa mempunyai anak lagi saat anak pertamanya sudah hampir dewasa. Benar-benar tidak adil. Mama tidak punya adik sehingga Ia tidak tahu bagaimana rasanya.”

Sambil melihat jam tangan dimas berkata “Ran, aku minta maaf, aku harus pergi sekarang. Aku ada janji bertemu denga orang siang ini. Yang penting kau sudah bercerita kan? Aku akan memberikan tanggapanku besok atau nanti ku telepon, ok?” Ia pun pergi dengan tergesa-gesa.

Sebenarnya ku kesal. Bagaimana tidak, dari kemarin Ia selalu pulang lebih awal. Tetapi mungkin memang janji dengan orang itu sangat penting. Setelah urusan kafe selesai, Aku pun pulang. Setelah bersih-bersih, terdengar suara hp yang berdering ada seseorang yang menelepon. Di handphone tertulis nama ‘Kak Dika’ Aku pun langsung mengangkatnya.

“Halo Rania!” kata kak Dika

“Halo kak.” Jawabku dengan nada datar karena masih kesal dengannya.

“Aku mau meneruskan obrolan kita tadi, lagi senggang ga nih?” tanya kak Dika

“Iya kak, lagi senggang kok.”

“Jadi gini Ran, aku mau nyampaikan pendapatku aja soal tadi. Mungkin ada alasannya kok kenapa kamu punya adik di usia yang sudah besar. Mungkin karena orang tuamu ingin ada yang menemani di masa tuanya nanti. Kalau mereka hanya punya satu anak, siapa yang akan menjaga mereka nanti, ya kan? Itu hanya kemungkinan loh yaa, hanya Allah dan orang tuamu yang tahu jawabannya.” Kata kak Dimas. Ia pun melanjutkan “Kenapa ga kamu ambil aja sisi positifnya? Dengan adanya adik-adikmu berarti Kamu tidak boleh egois. Allah melarangmu egois, Kamu sudah menjadi kakak yang akan menjadi panutan untuk adik-adiknya, ya kan?”

“Kak...” Kataku sambil sesenggukan menahan nangis

“Loh ran? Kamu nangis ya? Ihh cengeng juga kamu ya hahaha. Udah-udah jangan nangis, nanti cantiknya ilang loh, hihi.” Untuk kesekian kalinya, Ia membuatku jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.

“Enggak kok kak, udah ga nangis lagi nih, hehe. Makasih ya kak buat pendapatnya tadi. Sekarang Aku jauh lebih tenang dari sebelumnya.” Kataku dengan jantung yang masih berdegup kencang.

“Iya sama-sama, ran. Yaudh gih gausah nangis lagi, tidur aja sana. Udah malem ini.”

“Iya kak udah engga kok. Besok kakak ke kafe kan?” tanyaku berharap Ia tetap datang seperti har-hari sebelumnya.

“insyaallah. Yaudah ya semoga mimpi indah, ran!”

            Belum sempat menjawab, teleponnya sudah dimatikan oleh kak Dika. Aku jauh lebih tenang setelah mendengar perkataan kak Dika. Ada benarnya juga perkataan kak Dika.

            Di hari keempat, aku menunggu Kak Dika di kafe. Sudah jam 1 lewat. Biasanya Ia datang selalu jam 1 siang, kalaupun ngaret mungkin hanya 5-10 menit. Aku memutuskan untuk menelponnya, tetapi tidak diangkat-angkat. Aku benar-benar panik, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?

            Beberapa hari telah berlalu, Aku sudah menelponnya berulang-ulang kali tetap tidak diangkat. Setelah mencoba beberapa kali lagi akhirnya teleponnya diangkat.

“Halo? Kak Dika? Kakak di mana kak? Kok belum dateng?” Tanyaku dengan panik.

“Halo? Ada apa Rania? Ini mamanya Dika, ada apa ya?” Terdengar suara mama kak Dika sesenggukan menahan tangis dari telepon kak Dika.

“Halo tante, maaf tante apa ada Kak Dika?” tanyaku kepada mamanya kak Dika.

“Bisakah kita bertemu sekarang Rania? Kalau bisa bagaimana kita bertemu di taman kota sekarang?”

“Bisa tante, saya akan segera kesana.” Akupun bergegas pergi ke taman kota. Sesampainya di sana, aku bingung, aku tidak tahu yang mana mama nya kak Dika.

“Rania!” Terdengar suara perempuan yang tak ku ketahui, Ia pun mendekat “Saya mama nya Dika.”

“Oh halo Tante, saya Rania. Tante, di mana Kak Dika?”

“Mari kita duduk dulu.” Aku dan tante mencari tempat duduk lalu melanjutkan obrolan kami saat sudah duduk.

“Tante, di mana kak Dika?” tanyaku sekali lagi.

“Rania, Dika sekarang, sudah tidak ada..” ugkap mama Kak Dika. Akupun terkejut. Entah apa yang ku rasakan, semuanya bercampur aduk. Air mata sudah tak tertahankan lagi. Mengalir deras di pipi.

“Innalillahiwainailaihirojiun...” kataku sambil menangis.

“Ia memang memiliki jantung yang lemah dari lahir. Dan Ia tahu itu. Sudah beberapa bulan ini Ia tidak masuk sekolah. Hidupnya hanya di sekitar rumah dan rumah sakit. Dokter sudah pernah mengatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Saya sudah pasrah, saya menuruti segala keinginannya selama ini, demi putra tunggal saya, Dika.” Jelas mama Kak Dika.

“Berarti selama ini dia berbohong, pantas saja saya tidak pernah melihatnya di sekolah. Ia bilang ia sedang sibuk mempersiapkan diri masuk ke univesitas, ternyata..” kataku sambil menahan tangis.

“Dika banyak bercerita tentangmu. Katanya Ia sangat menyayangimu, Ia meminta maaf tidak bisa menemanimu lagi di kafe untuk waktu yang lama. Ia berharap semoga ada orang lain yang bisa menemanimu di kafe setiap hari, seperti yang Ia lakukan. Tante minta tolong maafkan segala kesalahan Dika, tolong maafkan baik yang di sengaja ataupun tidak.”

            Air mata yang mengalir pun semakin deras setelah mendengar perkataan mama Kak Dika. Ternyata firasatku benar, Ia mempunyai rasa yang sama.

 

Semua yang terjadi cukup membuat trauma. Sekarang Aku jarang berkenalan dengan orang baru, terutama laki-laki. Aku takut kejadian yang sama terulang kembali. Mungkin benar kata Kak Dika, sekarang lebih baik belajar saja dulu yang benar. Setelah kau dewasa, barulah temukan jati dirimu, dan juga cinta sejatimu.

Aku tak menyesal pernah mengenalnya. Jika ada hal yang harus kusesali, itu adalah rasa yang belum tersampaikan.

Written by Qanitha shaffa Juliebe Subroto

Perum GMP YUKUM JAYA 2020 ad

 

 


Tidak ada komentar: